January 16, 2024

Indonesia: Proyek Nikel Raksasa Menyebabkan Kerusakan Lingkungan, Iklim, Pelanggaran HAM

Masyarakat Adat, Penduduk Lokal Menghadapi Ancaman, Penyerobotan Lahan, Polusi Udara dan Air

Baca dalam: Bahasa Inggris | Bahasa Indonesia | Laporan Lengkap

(Jakarta, 17 Januari, 2024) — Sebuah komplek industri nikel raksasa bernilai milyaran dollar di Maluku Utara dan pertambangan nikel di sekitarnya telah melanggar hak asasi penduduk lokal, termasuk Masyarakat Adat, menyebabkan deforestasi yang signifikan, pencemaran udara dan air, serta menghasilkan gas rumah kaca dalam jumlah besar dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di luar jaringan (captive power plant), berdasarkan laporan dan video Climate Rights International yang dirilis hari ini.  

Dalam laporan sepanjang 124 halaman, “Nikel Dikeduk: Dampak Industri Nikel di Indonesia Pada Manusia dan Iklim,” Climate Rights International mewawancarai 45 narasumber yang tinggal di dekat kegiatan peleburan (smelting) di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) serta di sekitar pertambangan nikel di Halmahera. Penduduk lokal menjelaskan bagaimana perusahaan-perusahaan, berkoordinasi dengan kepolisian dan militer, telah menyerobot lahan, memaksa, serta mengintimidasi penduduk dan Masyarakat Adat, yang tengah menghadapi ancaman serius terhadap cara hidup tradisional mereka.  

Sebagian besar nikel yang diproses di IWIP dan di tempat lain di Indonesia diekspor untuk memenuhi permintaan yang terus tumbuh terhadap nikel untuk dipakai dalam teknologi energi terbarukan, termasuk baterai kendaraan listrik.  

“Transisi dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik adalah bagian penting menuju transisi global dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, namun tumbuhnya industri mineral penting tidak boleh mengulang praktik-praktik keji dan merusak lingkungan yang telah dilakukan oleh industri ekstraktif selama puluhan tahun,” kata Krista Shennum, Peneliti dari Climate Rights International. “Industri otomotif global yang mengambil pasokan nikel dari Indonesia, termasuk Tesla, Ford, dan Volkswagen, harus mengambil langkah untuk memastikan bahwa nikel yang digunakan dalam kendaraan listrik mereka tidak melanggar HAM dan kerusakan lingkungan.” 

Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, yang memasok 48 persen permintaan global pada tahun 2022. Di hampir seluruh negeri, sedang dibangun kawasan industri nikel secara besar-besaran untuk memroses bijih nikel. Meski kendaraan listrik bertujuan untuk mengurangi jejak karbon industri otomotif, peleburan di komplek industri nikel, termasuk IWIP, justru menghasilkan jejak karbon yang besar, menurut Climate Rights International.  Alih-alih menggunakan energi terbarukan seperti tenaga matahari dan angin yang melimpah, IWIP justru membangun setidaknya lima pembangkit listrik tenaga uap di luar jaringan (captive power plants) sejak 2018, dan berencana membangun total 12 pembangkit baru. Pembangkit tersebut akan menyuplai sekira 3.78 gigawatt per tahun dengan membakar batu bara kualitas rendah dari Kalimantan, yang melebihi penggunaan batu bara Spanyol dan Brasil dalam satu tahun.  

Penambangan nikel di daerah tersebut juga menjadi penyebab deforestasi dan hilangnya keragaman hayati secara signifikan. Setidaknya 5.331 hektare hutan tropis telah ditebang di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera, menyebabkan hilangnya sekira 2,04 metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut. 

Masyarakat adat punya hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait berbagai hal yang akan berdampak pada hak-hak mereka, termasuk persetujuan atas dasar Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC) sebelum menyetujui proyek apa pun yang berdampak pada tanah atau wilayah dan sumber daya lain. Namun, Masyarakat Adat berulang kali mengaku tidak diberitahu tentang tujuan pembebasan lahan atau rincian lain dari proyek tersebut oleh perusahaan pertambangan atau peleburan nikel. 

Masyarakat yang tinggal di Halmahera Tengah dan Timur telah sejak lama menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam sebagai nelayan traditional, petani, pembuat sagu, serta pemburu. Laporan ini mendokumentasikan bagaimana perusakan hutan akibat industri nikel, akuisisi lahan pertanian, degradasi sumber air bersih, dan kerusakan sumber perikanan telah mempersulit, jika bukan membuat mustahil, masyarakat untuk terus menjalani cara hidup tradisional mereka. 

Menurut Max Sigoro, seorang nelayan berusia 51 tahun dari etnis Sawai di desa pesisir Gemaf dekat IWIP,  

Kalau sebelum ada perusahaan ini, kita nelayan hidup enak, air laut juga bagus. Tapi setelah ada perusahaan ini memancing saja tidak bisa. Jadi kalau memancing di sana dekat perusahaan, kami selalu dikejar-kejar. Air laut juga banyak limbah. Air ini berubah dari IWIP. Air lautnya sudah jadi kotor. Kapal-kapal itu membuang limbah ke laut, oli bekas. Dan air panas dari PLTU itu dibuang ke laut jadi ikan-ikan mati. Air laut kadang berubah jadi merah. Kami biasanya mendayung perahu mendekati pantai untuk mencari ikan, sekarang kami harus pergi lebih jauh. Lebih berbahaya untuk pergi lebih jauh dan kami harus memperhitungkan ombak. Biayanya juga lebih mahal. Ikan-ikannya berukuran sama. Tapi kami khawatir ikan-ikan itu tercemar.  

Peta Indonesia. Kotak merah di sekeliling Halmahera.

Pertambangan nikel dan kegiatan peleburan mengancam hak-hak warga lokal atas air bersih, ketika kegiatan industri dan deforestasi mencemari sungai-sungai tempat warga menggantungkan hidup mereka, menurut Climate Rights International. Warga juga khawatir atas meningkatnya bencana banjir yang diakibatkan oleh penggundulan hutan oleh perusahaan tambang nikel.  

Kurangnya transparansi dan keterbukaan informasi dari perusahaan dan pemerintah Indonesia hanya memperburuk keadaan. Masyarakat kesulitan mengakses informasi tentang konsekuensi pencemaran industri atas kesehatan mereka. Baik IWIP maupun pemerintah Indonesia tidak menyediakan informasi yang terbuka terkait kualitas udara dan air kepada masyarakat.  

Tanggung Jawab Pemerintah 

Climate Rights International mendesak pemerintah Indonesia untuk memperkuat peraturan perundang-undangan guna meminimalkan dampak pertambangan dan pemurnian nikel terhadap masyarakat, termasuk masyarakat adat. Pemerintah juga harus memastikan agar aparat keamanan baik dari negara maupun perusahaan menghentikan semua praktik intimidasi maupun ancaman kepada masyarakat yang menentang kegiatan di IWIP maupun kegiatan terkait.  

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sepatutnya melakukan penilaian, pemantauan, dan penyelidikan terhadap dugaan pencemaran lingkungan dan membuat temuan-temuan dari investigasi tersebut tersedia untuk publik dan bisa diakses. Kementerian Agraria dan Tata Ruang seharusnya segera mengakui tanah adat milik masyarakat adat dan memastikan bahwa perusahaan pertambangan dan pemurnian nikel menghormati hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah Indonesia juga segera menghentikan perizinan semua pembangkit listrik tenaga batu bara baru, termasuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang digunakan untuk memasok listrik ke kawasan industri. 

Tanggung Jawab Korporasi 

Kerusakan yang berdampak pada masyarakat lokal dan lingkungan ini disebabkan oleh aktivitas puluhan perusahaan domestik dan asing yang bergerak di bidang pertambangan dan pemurnian nikel di Halmahera Tengah dan Timur, termasuk IWIP. 

IWIP adalah gabungan dari tiga perusahaan swasta yang berkantor pusat di Republik Rakyat Tiongkok: Tsingshan Holding Group, Huayou Cobalt Group, dan Zhenshi Holding Group. Selain ketiga pemegang saham ini, ada semakin banyak perusahaan yang telah mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas industri di kawasan IWIP untuk memproduksi bahan nikel yang dibutuhkan untuk baterai EV. Eramet dan BASF telah mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas pemurnian nikel dan kobalt, yang disebut Sonic Bay, yang akan menghasilkan 67.000 ton nikel dan 7.500 ton kobalt per tahun, dengan menggunakan teknologi pelindian asam bertekanan tinggi (HPAL) yang berpotensi menimbulkan bahaya. Selain itu, perusahaan raksasa Korea Selatan, POSCO, telah mengumumkan rencana pembangunan pabrik senilai $441 juta di kawasan IWIP dengan kapasitas produksi mencapai 52.000 metrik ton nikel olahan per tahun, yang cukup untuk memproduksi sekitar satu juta mobil listrik. 

Tiga pemangku kepentingan utama di IWIP – Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi – sepatutnya mengambil langkah cepat untuk memulihkan pencemaran air dan udara yang disebabkan kegiatan mereka, dan perusahaan tambang nikel harus membuang limbah tambang sesuai prosedur demi meminimalkan pencemaran lingkungan. Baik IWIP maupun perusahaan tambang nikel harus memberikan kompensasi secara penuh dan adil bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk Masyarakat Adat, atas tanah mereka serta memastikan bahwa Masyarakat Adat dapat memberikan persetujuan atas dasar Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC) secara penuh sebagaimana diatur dalam hukum hak asasi manusia internasional. 

Perusahaan kendaraan listrik, seperti Tesla, Ford, dan Volkswagen yang memiliki kontrak untuk memasok nikel dari Indonesia, termasuk dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di IWIP, seharusnya segera menggunakan pengaruh mereka untuk mendorong para pemasok agar mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan terhadap masyarakat lokal dan lingkungan hidup, dan bila perlu, berhenti membeli nikel dari perusahaan yang bertanggung jawab atas segenap pelanggaran tersebut.   

Adlun Fikri, aktivis berusia 29 tahun dari Desa Sagea, mengatakan kepada Climate Rights International bagaimana warga merasakan dampak dari IWIP dan perusahaan lain:  

“Di daerah hulu sungai tempat mereka menambang, itu merusak, mendegradasi hutan, dan melanggar HAM. Warga lokal harus menanggung akibat dari ambisi global [nol emisi karbon]. Orang Barat menikmati kendaraan listrik, sementara kami menanggung dampak buruknya.” 

“Membangun pembangkit listrik di luar jaringan untuk mengerakkan kegiatan pemrosesan nikel serta melakukan deforestasi adalah solusi palsu yang tidak dapat diterima,” kata Shennum. “Perusahaan kendaraan listrik harus memastikan bahwa rantai pasok mineral penting mereka bebas dari bahan bakar fosil, dan pemerintah asing – termasuk AS dan Uni Eropa – harus menyokong pendanaan transisi energi di Indonesia, termasuk penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap.” 

Foto udara Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), termasuk pembangkit listrik luar jaringan dan operasi peleburan nikel. Kredit: Muhammad Fadli untuk CRI.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share by Email

Related Articles

RelatedArticles