September 13, 2023

Indonesia: Hentikan Sementara Pertambangan Nikel di Maluku Utara

Pemerintah pusat harus merespons rekomendasi Dinas Lingkungan Hidup atas pencemaran sungai

Baca Dalam: Bahasa Inggri | Bahasa Indonesia

(Jakarta) Pemerintah Indonesia sepatutnya merespons surat rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara dan menghentikan sementara aktivitas lima perusahaan tambang nikel agar kebutuhan air bersih masyarakat terjaga, menurut Climate Rights International. Lima perusahaan tersebut harus menghentikan sementara kegiatan tambang hingga pencemaran sungai dapat diatasi dan harus memastikan bahwa tak ada lagi pencemaran sungai dan air tanah di masa mendatang.

Pada 4 September, Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara telah mengeluarkan surat rekomendasi ditujukan pada PT Weda Bay Nickel, PT Halmahera Sukses Mineral. PT Tekindo Energi, PT First Pacific Mining, dan PT Karunia Sagea Mineral, yang menyebut agar kelima perusahaan tersebut menghentikan sementara operasinya di Halmahera Tengah.

Baik pemerintah kabuten maupun provinsi hanya dapat memberikan rekomendasi, bahkan ketika terjadi ancaman terhadap kesehatan masyarakat, sebab dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia semua keputusan terkait tambang ada di tangan pemerintah pusat.

“Kendati nikel adalah mineral penting untuk baterai kendaraan listrik dan kunci melawan perubahan iklim, pertambangan harus dilakukan secara aman bagi masyarakat lokal dan lingkungan,” kata Brad Adams, Direktur Eksekutif Climate Rights International. “Bagi masyarakat yang bergantung pada sungai dan air tanah, pencemaran lingkungan akan sangat berdampak. Pemerintah pusat harus menghentikan sementara kegiatan tambang yang merusak sampai ada langkah preventif untuk ke depannya.”

Masyarakat di Desa Sagea, Kabupaten Halmahera Tengah mengatakan pada Climate Rights International bahwa air sungai Sagea menjadi sangat keruh, yang mengindikasikan adanya peningkatan sedimentasi tanah dari hulu, di mana mayoritas kegiatan tambang berada. Masyarakat desa mayoritas bergantung pada air sungai dan air bawah tanah yang mengalir melalui gua karst.

Koalisi Selamatkan Sagea, sebuah organisasi masyarakat, telah mendokumentasikan pencemaran sungai ini dan melaporkan pada lembaga terkait. Pada 4 September Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara mengeluarkan surat rekomendasi yang mengatakan kepada perusahaan “untuk dilakukan penghentian sementara seluruh aktivitas pertambangan guna mencegah meluasnya dampak negatif lebih lanjut di Sungai Sagea sampai dengan adanya hasil investigasi dan evaluasi terhadap dugaan kasus tersebut.”

Berdasarkan undang-undang, perusahaan harus memastikan bahwa baku mutu air terpenuhi berdasarkan beberapa parameter seperti suhu, kebasaan, total padatan terlarut, dan kromium heksavalen. Undang-Undang No.32 tahun 2009 mengatur bahwa perusahaan harus memberikan informasi yang jelas dan transparan terkait aktivitas mereka, termasuk memonitor pencemaran lingkungan. Pasal 98 Undang-Undang tersebut juga mengatur ancaman pidana pencemaran lingkungan maksimum 10 tahun dan dengan maksimal Rp10 milyar.

Namun, organisasi masyarakat dan lingkungan menuding bahwa penegakan hukum lingkungan masih lemah dan lebih kerap menggelar karpet merah kepada pengembangan industri ekstraktif alih-alih melestarikan lingkungan.

Indonesia adalah penghasil nikel terbesar di dunia, menyuplai 48.8 percent produksi nikel global pada 2022. Sekitar 30 persen nikel dihasilkan di Maluku Utara. Nikel dihasilkan dari permukaan dangkal tanah dan ditambang melalui penambangan terbuka (open pit), sebuah metode pengerukan tanah untuk mengekstrasi bijih. Penambangan terbuka sendiri merupakan praktik yang membahayakan lingkungan, termasuk risiko pencemaran air dan udara, hilangnya habitat, serta erosi dan tanah longsor. Dampak tersebut dapat dihindari jika perusahaan menerapkan standar lingkungan yang ketat, termasuk pengelolaan dan pembuangan limbah, memonitor kualitas air, dan menampilkan data secara transparan agar mudah diakses publik.

Meski pemerintah telah menerapkan desentralisasi kekuasaan lewat otonomi daerah pasca Orde Baru, UU Cipta Kerja yang disahkan pada 2020 dan UU Minerba, justru mengembalikan kekuasaan pada pemerintah pusat, di mana Presiden Joko Widodo lebih memprioritaskan pembangunan industri alih-alih memprioritaskan perlindungan hutan, kesehatan masyarakat, dan akses air bersih.

Organisasi masyarakat dan aktivis sepakat bahwa kebijakan-kebijakan itu telah menggelar karpet merah kepada industri ekstraktif sembari menepis kekhawatiran di tingkat akar rumput, serta membuat pemerintah daerah kehilangan otoritasnya untuk turut mengawasi aktivitas tambang.

Reforma hukum dan undang-undang penting agar institusi pemerintah di tingkat lokal dapat mengambil keputusan, menurut Climate Rights International. Otonomi dan kewenangan seharusnya diberikan kembali kepada pemerintah daerah agar pengawasan dapat dijalankan dalam konteks lokal dan faktual.

“Industri pertambangan harus memperbaiki praktik-praktiknya,” kata Adams. “Mereka mengeruk keuntungan dari nikel dan memiliki kewajiban untuk memberikan dana untuk menjaga masyarakat lokal dari pencemaran dan ancaman lain. Pemerintah Indonesia harus segera merespons dan menjalankan rekomendasi pemerintah provinsi.”

Kredit foto: lokasi pertambangan dekat dengan sebuah danau (L) dan Teluk Weda (R) di Indonesia Timur (Foto CRI, 2023)

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share by Email

Related Articles

RelatedArticles