Foto udara Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), termasuk pembangkit listrik luar jaringan dan operasi peleburan nikel. Kredit: Muhammad Fadli untuk CRI.
Sejak usia muda Max Sigoro telah menangkap ikan di perairan Desa Gemaf, Halmahera. Selama puluhan tahun nelayan suku Sawai berusia 51 tahun tersebut menangkap ikan cakalang dan kerapu sebagai sumber penghidupan utama untuk keluarganya. Namun akibat polusi yang ditimbulkan oleh industri peleburan (smelting) di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) serta penambangan nikel di daerah tersebut, hasil tangkapan Max anjlok drastis, sehingga membuatnya semakin sulit untuk menafkahi diri sendiri dan keluarganya.
Kalau sebelum ada perusahaan ini, kita nelayan hidup enak, air laut juga bagus. Tapi setelah ada perusahaan ini memancing saja tidak bisa. Jadi kalau memancing di sana dekat perusahaan, kami selalu dikejar-kejar. Air laut juga banyak limbah. Air ini berubah dari IWIP. Air lautnya sudah jadi kotor. Kapal-kapal itu membuang limbah ke laut, oli bekas. Dan air panas dari PLTU itu dibuang ke laut jadi ikan-ikan mati. Air laut kadang berubah jadi merah. Kami biasanya mendayung perahu mendekati pantai untuk mencari ikan, sekarang kami harus pergi lebih jauh. Lebih berbahaya untuk pergi lebih jauh dan kami harus memperhitungkan ombak. Biayanya juga lebih mahal. Ikan-ikannya berukuran sama. Tapi kami khawatir ikan-ikan itu tercemar.1Wawancara Climate Rights International dengan Max Sigoro, 8 Februari 2023, Gemaf, Maluku Utara, Indonesia.
Maklon Lobe, seorang pria suku Sawai berusia 42 tahun asal Desa Gemaf, memiliki lahan pertanian yang ditanami kakao, sagu, dan pala yang berada di dalam batas-batas wilayah IWIP saat ini. Kepada Climate Rights International, Maklon mengatakan bahwa pada 2018, perwakilan IWIP menebangi pohon-pohon miliknya, memblokir jalan untuk memutus akses ke kebunnya, dan menggali tanah, tanpa seizinnya. Menurut Maklon, ia berkali-kali bertemu dengan perwakilan IWIP antara tahun 2018 dan Agustus 2022 untuk membahas soal kompensasi. Selama periode itu, sejumlah aparat kepolisian mendatangi rumahnya “entah berapa kali,” dan meminta penjelasan mengapa ia enggan menjual tanahnya kepada IWIP. Akhirnya, Maklon menyerah. Meskipun ia memegang sertifikat tanah yang memastikan kepemilikan sah atas tanah seluas 38 hektar, IWIP kala itu hanya setuju untuk membayar delapan hektar, dan mengambil sisanya tanpa memberi kompensasi bagi Maklon.2Wawancara Climate Rights International dengan Maklon Lube, 10 Februari 2023, Gemaf, Maluku Utara, Indonesia.
Laporan ini mendokumentasikan berbagai dampak bagi lingkungan dan manusia yang ditimbulkan oleh IWIP, sebuah proyek peleburan dan pengolahan nikel besar, serta tambang-tambang nikel di sekitarnya di Halmahera. Pembangunan dan pengoperasian IWIP dan penambangan hulu nikel telah menghancurkan kehidupan banyak Masyarakat Adat dan anggota masyarakat pedesaan lainnya, seperti Max dan Maklon, serta menyebabkan kerusakan signifikan pada lingkungan setempat dan iklim global.
Climate Rights International mewawancarai 45 warga sekitar operasi pertambangan dan peleburan nikel yang menggambarkan berbagai ancaman serius terhadap hak-hak atas tanah, hak untuk menjalani cara hidup tradisional, hak untuk mengakses air bersih, dan hak atas kesehatan akibat kegiatan pertambangan dan peleburan di IWIP dan area pertambangan nikel di sekitarnya. Beberapa perusahaan, berkoordinasi dengan aparat kepolisian dan militer Indonesia, telah melakukan perampasan tanah, pemaksaan, dan intimidasi terhadap Masyarakat Adat dan beberapa komunitas lain, yang sedang mengalami ancaman serius dan berpotensi mengancam kehidupan tradisional mereka.
Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, yang memasok 48 persen permintaan global pada tahun 2022. Di hampir seluruh negeri, sedang dibangun kawasan industri nikel secara besar-besaran, di mana bijih nikel dimurnikan menjadi bahan yang dapat digunakan untuk aplikasi industri dan produk konsumen. Meski selama beberapa dekade nikel menjadi bahan baku utama dalam produksi baja tahan karat, permintaan telah meroket dalam beberapa tahun terakhir karena meningkatnya penggunaan teknologi energi terbarukan, termasuk baterai kendaraan listrik. Untuk memenuhi permintaan kendaraan listrik dan energi terbarukan lainnya yang terus meningkat, dan dalam skenario yang selaras dengan tujuan iklim Perjanjian Paris, permintaan nikel global diperkirakan akan meningkat sekitar 60 persen pada tahun 2040.
Sayangnya, meski tujuan dari transisi ke kendaraan listrik adalah untuk mengurangi jejak karbon dari industri otomotif, peleburan nikel di IWIP menghasilkan jejak karbon yang sangat besar. Alih-alih menggunakan tenaga surya dan angin terbarukan yang melimpah, IWIP telah membangun setidaknya lima pembangkit listrik tenaga batu bara dan pada akhirnya akan menjadi rumah bagi dua belas pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru. Secara keseluruhan, pembangkit listrik tenaga batu bara ini akan menghasilkan sekitar 3,78 gigawatt per tahun dengan membakar batu bara berkualitas rendah dari Kalimantan. Setelah beroperasi penuh, segenap pembangkit listrik ini akan memakai lebih banyak batu bara dibandingkan dengan Spanyol atau Brasil dalam satu tahun.
Presiden Joko Widodo telah menjadikan industri nikel dan baterai sebagai fokus utama dalam rencana pembangunan ekonomi Indonesia. Dalam kunjungannya ke Gedung Putih pada November 2023, industri ini menjadi agenda utama dalam pembicaraannya dengan Presiden AS Joe Biden.
Transisi menuju energi terbarukan sangatlah penting, tetapi diperlukan peraturan dan pengawasan yang kuat dari pemerintah untuk memastikan bahwa industri mineral penting yang sedang berkembang dan rantai pasokan terkait tidak meniru praktik-praktik perburuhan dan lingkungan yang merusak dan telah lama menjadi ciri khas industri ekstraktif di Indonesia dan di seluruh dunia. Sejumlah perusahaan kendaraan listrik, seperti Tesla, Ford, dan Volkswagen yang memiliki kontrak untuk memasok nikel dari Indonesia, termasuk dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di IWIP, semestinya mendorong rantai pasok yang berkelanjutan dan adil serta menyerukan kepada pemerintah Indonesia maupun perusahan-perusahaan tambang dan peleburan agar melindungi tanah dan hak-hak Masyarakat Adat dan masyarakat lainnya di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, mengurangi penggundulan hutan, memitigasi pencemaran udara dan air, serta memastikan agar hak-hak para aktivis dan warga setempat untuk berorganisasi dan berunjuk rasa dijunjung tinggi.
Pulau Halmahera di Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu “Pulau Rempah “, rumah bagi pala, fuli, cengkeh, dan berbagai produk lain yang menarik minat kolonial Eropa untuk datang ke wilayah ini sejak abad ke-16. Pulau ini sebagian besar merupakan hutan, bergunung-gunung, serta memiliki sedikit penduduk. Kepulauan Maluku adalah rumah bagi populasi yang beragam, dengan sekitar 28 kelompok etnis dan bahasa, termasuk Sawai dan Tobelo.
Sebagaimana halnya pada era kolonial, macam-macam kepentingan pihak luar kini kembali mengincar sumber daya alam Halmahera. Pada tahun 2018, pembangunan IWIP dimulai, sebuah kompleks industri bernilai miliaran dolar AS seluas 5.000 hektar yang berlokasi di Desa Lelilef, Halmahera Tengah, Maluku Utara, sekitar tiga kilometer dari rumah Max Sigoro di Gemaf. IWIP dibangun dengan sangat cepat, mulai beroperasi pada tahun 2020, kurang dari dua tahun setelah proyek ini diumumkan. Daerah pegunungan di sebelah utara kawasan industri ini kaya akan cadangan nikel.
Selain emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga batu bara di IWIP, pertambangan nikel di dekatnya juga menjadi pemicu deforestasi yang signifikan, yang merupakan penyebab lain dari krisis iklim dan musnahnya keanekaragaman hayati. Dengan menggunakan analisis geospasial, Climate Rights International (CRI) dan AI Climate Initiative di University of California, Berkeley, menetapkan bahwa setidaknya 5.331 hektar hutan tropis telah ditebang di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera, yang berarti hilangnya sekitar 2,04 juta metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut.
Beberapa orang yang diwawancarai oleh Climate Rights International melaporkan bahwa proses pembebasan lahan diwarnai dengan perampasan tanah, sedikit atau bahkan tanpa kompensasi, serta penjualan tanah yang tidak adil. Tanah milik masyarakat yang tinggal di dekat IWIP telah dirampas, digunduli, atau digali oleh perusahaan nikel dan pengembang tanpa persetujuan mereka. Beberapa anggota masyarakat yang enggan menjual tanah mereka atau menolak harga tanah yang ditawarkan mengalami intimidasi, menerima ancaman, dan menghadapi pembalasan dari perwakilan perusahaan, aparat kepolisian, dan anggota Tentara Nasional Indonesia. Kedatangan industri nikel telah mendorong bertambahnya kehadiran polisi dan tentara di desa-desa dekat IWIP, termasuk satu Mako Brimob dan sebuah pos jaga TNI.
Seiring dengan transformasi industri nikel di wilayah ini, masyarakat pesisir dan hutan sedang menghadapi ancaman eksistensial terhadap mata pencaharian dan cara hidup tradisional mereka. Selama beberapa generasi, masyarakat yang tinggal di Halmahera Tengah dan Timur bergantung pada sumber daya alam untuk menghidupi diri mereka serta keluarga sebagai nelayan tradisional, petani, pembuat sagu, dan pemburu. Sejumlah warga yang diwawancarai oleh Climate Rights International melaporkan bahwa perusakan hutan akibat industri nikel, akuisisi lahan pertanian, degradasi sumber air bersih, dan kerusakan sumber perikanan telah mempersulit, jika bukan mustahil, untuk meneruskan cara hidup tradisional mereka.
Hampir sepanjang hidupnya, Felix Naik (65 tahun), menggunakan air dari Sungai Ake Doma, sebuah sungai kecil di Lelilef, untuk hampir semua keperluannya. Namun sejak perusahaan-perusahaan tambang datang ke daerah itu, ia menghindari penggunaan air tersebut. Kepada Climate Rights Internasional Felix mengatakan, “Ada penggundulan hutan di hulu sungai. Jadi kalau hujan turun, air sungai berubah warna menjadi coklat tua dan berlumpur,” yang mengindikasikan bahwa air sungai telah tercampur dengan endapan tanah dari daerah hulu, yang juga mengindikasikan adanya pencemaran logam berat yang berbahaya.3W Wei et al., “Effects of Mining Activities on the Release of Heavy Metals (HMs) in a Typical Mountain Headwater Region, the Qinghai-Tibet Plateau in China,” Intl J Environ Res Public Health 15,9 (2018), doi: 10.3390/ijerph15091987 (diakses pada 14 Desember 2023). Felix telah menggali tiga sumur untuk bertahan hidup, tetapi airnya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya, sehingga ia harus membeli air setiap dua atau tiga hari sekali dengan harga Rp 5.000 per galon.
Penebangan hutan yang menjadi-jadi, pencemaran udara serta air, dan perusakan habitat akibat kegiatan pertambangan dan peleburan nikel telah secara serius merusak lingkungan. Kegiatan penambangan dan peleburan nikel mengancam hak penduduk setempat untuk mendapatkan air minum yang bersih dan aman, karena kegiatan industri dan deforestasi mencemari saluran air yang menjadi tumpuan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Masyarakat juga mengkhawatirkan bencana banjir yang semakin sering terjadi akibat deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan nikel.
Penduduk di desa-desa sekitar IWIP juga mengkhawatirkan adanya masalah kesehatan baru yang muncul, termasuk gangguan pernapasan dan kulit, sehubungan dengan pencemaran akibat pembangunan dan pengoperasian IWIP serta pembangkit listrik tenaga batu baranya. Meskipun penelitian soal kesehatan masyarakat yang diperlukan untuk secara langsung mengaitkan masalah kesehatan yang dilaporkan dengan kegiatan industri nikel di IWIP masih kurang, jenis dampak kesehatan yang dilaporkan sejalan dengan apa yang disarankan oleh berbagai penelitian yang diduga terjadi akibat paparan polusi dari berbagai sumber industri dan pembangkit listrik tenaga batu bara.
Kurangnya keterbukaan atau penyediaan informasi dasar oleh perusahaan dan pemerintah Indonesia memperparah situasi ini. Masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses informasi mengenai dampak pencemaran industri terhadap kesehatan mereka. IWIP maupun pemerintah tidak menyediakan informasi yang bisa diakses publik mengenai kualitas udara dan air bagi warga setempat.
Masyarakat adat punya hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait berbagai hal yang akan berdampak pada hak-hak mereka. Negara seharusnya berkonsultasi dan bekerja sama dengan itikad baik guna mendapatkan persetujuan atas dasar Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC) sebelum menyetujui proyek apa pun yang berdampak pada tanah atau wilayah dan sumber daya lain, terutama yang berkaitan dengan pengembangan, pemanfaatan atau eksploitasi sumber daya mineral, air, dan sumber daya lain. Namun, masyarakat adat yang diwawancarai oleh Climate Rights International di Halmahera Tengah dan Timur berulang kali mengaku tidak diberitahu tentang tujuan pembebasan lahan atau rincian lain dari proyek tersebut oleh perusahaan pertambangan atau peleburan nikel.
Bagi Novenia Ambuea, seorang aktivis hak-hak masyarakat adat di Minamin, Halmahera Timur, tanah merupakan penghubungnya dengan para leluhur. Di waktu senggang, Novenia dan suaminya mengelola kebun seluas 2 hektar yang mereka tanami kelapa, pala, pisang, dan sayuran. Namun, cara hidup seperti ini terancam karena tanah Novenia kini dikelilingi oleh konsesi pertambangan. Novenia bercerita kepada Climate Rights International,
Tanah ini adalah warisan dari orang tua kami. Jika kami menjualnya, maka kami juga menjual sejarah dan kenangan kami. Hidup di Minamin adalah soal menangkap ikan dan bertani, sejak dulu. Kami adalah nelayan, pemburu, dan petani. Kehidupan kami sekarang masih sama, tetapi sebentar lagi akan berubah.4Wawancara Climate Rights International dengan Novenia Ambuea, 24 Maret 2023, Minamin, Maluku Utara, Indonesia.
Kerusakan yang berdampak pada masyarakat lokal dan lingkungan ini disebabkan oleh aktivitas puluhan perusahaan domestik dan asing yang bergerak di bidang pertambangan dan pemurnian nikel di Halmahera Tengah dan Timur, termasuk IWIP.
IWIP adalah gabungan dari tiga perusahaan swasta yang berkantor pusat di Republik Rakyat Tiongkok: Tsingshan Holding Group, Huayou Cobalt Group, dan Zhenshi Holding Group. Selain ketiga pemegang saham ini, ada semakin banyak perusahaan yang telah mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas industri di kawasan IWIP untuk memproduksi bahan nikel yang dibutuhkan untuk baterai EV. Eramet dan BASF telah mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas pemurnian nikel dan kobalt, yang disebut Sonic Bay, yang akan menghasilkan 67.000 ton nikel dan 7.500 ton kobalt per tahun, dengan menggunakan teknologi pelindian asam bertekanan tinggi (HPAL) yang berpotensi menimbulkan bahaya. Selain itu, perusahaan raksasa Korea Selatan, POSCO, telah mengumumkan rencana pembangunan pabrik senilai $441 juta di kawasan IWIP dengan kapasitas produksi mencapai 52.000 metrik ton nikel olahan per tahun, yang cukup untuk memproduksi sekitar satu juta mobil listrik.
Pemerintah Indonesia secara aktif mempromosikan industri nikel untuk kesejahteraan warganya. Selama satu dekade terakhir, pemerintah Indonesia telah memberlakukan kebijakan dan undang-undang yang memprioritaskan pertumbuhan industri nikel dan melemahkan perlindungan lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat adat. Dengan tindakan tersebut, pemerintah Indonesia telah gagal memenuhi kewajibannya dalam melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat yang terkena dampak operasi pertambangan dan peleburan. Pemerintah Indonesia juga gagal melindungi iklim dan memitigasi perubahan iklim.
Presiden Jokowi seharusnya memperkuat peraturan perundang-undangan guna meminimalkan dampak pertambangan dan pemurnian nikel terhadap masyarakat, termasuk masyarakat adat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral seharusnya memastikan bahwa perusahaan-perusahaan pertambangan mengikuti prosedur operasi penambangan yang ketat yang menghormati lingkungan dan hak asasi manusia serta seharusnya secara menyeluruh melakukan penilaian, pemantauan, dan penyelidikan terhadap dugaan pencemaran lingkungan dan membuat temuan-temuan dari investigasi tersebut tersedia untuk publik dan bisa diakses. Kementerian Agraria dan Tata Ruang seharusnya segera mengakui tanah adat milik masyarakat adat dan memastikan bahwa perusahaan pertambangan dan pemurnian nikel menghormati hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat. Seharusnya Pemerintah Indonesia juga segera menghentikan perizinan semua pembangkit listrik tenaga batu bara baru, termasuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang digunakan untuk memasok listrik ke kawasan industri.
Perusahaan-perusahaan di IWIP dan beberapa perusahaan tambang nikel di sekitarnya gagal memenuhi tanggung jawab hak asasi manusia mereka di bawah Prinsip-Prinsip Panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Tiga pemangku kepentingan utama di IWIP – Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi – seharusnya menggelar uji tuntas untuk sepenuhnya mengidentifikasi kerugian yang disebabkan oleh operasi mereka dan menggelar mediasi dengan masyarakat terdampak di sekitar Kawasan Industri Weda Bay mengenai cara terbaik untuk memulihkan kerugian tersebut.
IWIP dan perusahan-perusahaan pertambangan nikel seharusnya memberikan kompensasi secara penuh dan adil bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk Masyarakat Adat, atas tanah mereka. Perusahaan tambang nikel harus membuang limbah tambang dengan benar demi meminimalkan pencemaran lingkungan, dan pemangku kepentingan di IWIP harus mengambil langkah cepat untuk menghentikan polusi air dan udara atas kegiatan mereka. Semua perusahaan harus memastikan agar Masyarakat Adat dapat memberikan persetujuan atas dasar Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC) secara penuh sebagaimana diatur dalam hukum hak asasi manusia internasional. Perusahaan-perusahaan yang belum memulai konstruksi pada pembangunan yang diusulkan di IWIP, termasuk Eramet, BASF, dan POSCO, seharusnya menghentikan sementara pembangunan hingga penyelidikan penuh dan independen atas dampak hak asasi manusia, lingkungan, dan iklim dari proyek tersebut dilakukan.
Guna mencegah terjadinya bencana iklim, para pengembang proyek seharusnya segera menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru di Indonesia Weda Bay Industrial Park dan sebagai gantinya, menyediakan tenaga listrik bagi operasi industri dengan sumber energi terbarukan seperti tenaga angin dan tenaga surya. Perusahaan juga seharusnya mengambil langkah-langkah guna meminimalkan pencemaran udara, air, dan tanah dari kegiatan industri.
Perusahaan kendaraan listrik, seperti Tesla, Ford, dan Volkswagen yang memiliki kontrak untuk memasok nikel dari Indonesia, termasuk dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di IWIP, seharusnya segera menggunakan pengaruh mereka untuk mendorong para pemasok agar mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan terhadap masyarakat lokal dan lingkungan hidup, dan bila perlu, berhenti membeli nikel dari perusahaan yang bertanggung jawab atas segenap pelanggaran tersebut. Perusahaan mobil listrik juga seharusnya semakin mendorong transparansi terkait rantai pasokan mineral penting mereka dengan menyediakan informasi publik tentang semua pemasok, termasuk mereka yang terlibat dalam penambangan, pemurnian, peleburan, dan produksi baterai. Selain itu, mereka seharusnya melakukan audit secara teratur, transparan, dan benar-benar independen terhadap tambang dan fasilitas tempat mineral penting ditambang dan dimurnikan.
Sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres, “Ekstraksi mineral untuk revolusi energi bersih harus dilakukan dengan cara yang berkelanjutan, jujur dan adil.”5A Guterres, unggahan di X, 2 Desember 2023, https://twitter.com/antonioguterres/status/1730994288551510362 (diakses pada 2 Desember 2023). Climate Rights International meyakini bahwa transisi menuju kendaraan listrik adalah bagian penting dari transisi energi terbarukan dan transportasi ramah lingkungan, tetapi transisi ini hanya akan menjadi “hijau” dan “adil” jika menghormati hak asasi manusia di seluruh rantai pasokan bahan baku dan tidak melanggengkan praktik-praktik kejam dan merusak iklim yang telah dijalankan selama puluhan tahun oleh industri ekstraktif. Pemerintah dan regulator juga seharusnya memperbanyak akses terhadap angkutan umum dan metode transportasi alternatif untuk mengurangi emisi dari kendaraan pribadi, serta mewajibkan tingkat minimum kandungan daur ulang dalam baterai kendaraan listrik untuk mengurangi permintaan terhadap mineral-mineral penting murni.
Untuk IWIP dan semua perusahaan pertambangan dan peleburan nikel di Halmahera Tengah dan Timur:
Untuk Pemerintah Indonesia:
Untuk perusahaan kendaraan listrik:
Untuk Pemerintah Indonesia:
Untuk Dewan Perwakilan Rakyat:
Untuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi:
Untuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral:
Untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan:
Untuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang:
Untuk Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Sejumlah Lembaga terkait:
Untuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM):
Untuk Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri):
Untuk Lembaga Peradilan Indonesia:
Untuk Indonesia Weda Bay Industrial Park berikut para pemangku kepentingan di Tsingshan Group, Huayou Cobalt, dan Zhenshi Group:
Untuk PT Weda Bay Nickel, termasuk para pemangku kepentingannya, serta sejumlah perusahaan pertambangan yang beroperasi di Halmahera:
Untuk Eramet dan BASF:
Untuk POSCO:
Untuk semua perusahaan peleburan dan pemurnian nikel yang beroperasi di IWIP:
Untuk Tesla, Volkswagen, Ford, dan beberapa perusahaan kendaraan listrik lain yang mendapat pasokan nikel dari produsen di IWIP dan kawasan industri lainnya di Indonesia, serta semua perusahaan kendaraan listrik global lain yang mungkin menerima pasokan nikel dari Indonesia:
Untuk perusahaan yang memproduksi kendaraan listrik di Jerman:
Untuk Uni Eropa (UE) dan Negara-Negara Anggotanya:
Untuk Pemerintah Amerika Serikat:
Untuk Pemerintah Tiongkok:
Semua negara seharusnya: